BAGI sebagian warga Banyuwangi, terutama warga nahdliyin, nama KH.
Abdullah Faqih atau lebih dikenal kiai Faqih Cemoro sudah tidak asing.
Kiai karismatis itu termasuk ulama besar dan waliyullah. Kiai Faqih yang
lahir pada tahun 1870 Masehi dan meninggal pada tahun 1953, dikenal
bukan hanya penyebar Islam, tapi juga pejuang kemerdekaan yang gigih
melawan penjajah Belanda.
Dengan membawa bendera hizbullah,
memimpin sejumlah peperangan seperti perang Parangharjo, Kecamatan
Songgon; perang Hisbullah Lemahbang, dan beberapa perang lain. Jejak
kiai Faqih kini bisa dilihat di makamnya di Dusun Cemoro, Desa Balak,
Kecamatan Songgon
Kompleks makam berada di utara
masjid. Di sekitar makam masih berdiri bangunan sekolah mulai
pendidikan anak usia dinia (PAUD), Raudlatul Atfal (TK), dan Madrasah
Ibtidaiah Miftahul Huda. Bila dilihat sepintas, bangunan sekolah itu
tampak seperti bangunan lama yang pernah digunakan untuk pondok
pesantren.
“Dulu santrinya Mbah Kiai Faqih ini ribuan,” ujar Gus
Umar Abdullah, 55, salah satu cucu KH. Abdullah Faqih bin Umar. Kiai
Faqih ini santri urutan ke-22 dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Saat
belajar, satu angkatan dengan KH. Hasyim Asyari dan KH.Wahab Hasbullah,
dua kiai besar asal Jombang yang dikenal sebagai pendiri NU.
Kiai yang juga satu angkatan adalah KH. Munawwir, pendiri pondok
pesantren Al-Munawwir Krapyak, Jogjakarta; KH. Ma’shum, pendiri pondok
pesantren Lasem, Rembang; dan KH. Syamsul Arifin, pendiri dan pengasuh
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus Situbondo.
Usai
belajar dari maha guru Syaikhona Kholil, Bangkalan, Kiai Faqih diberi
mandat menyebarkan Islam di daerah Banyuwangi. Dan pada tahun 1917 dia
masuk Dusun Cemoro, Desa Balak. “Ketemu dengan bapak Haji Hambali,
juragan tanah, Kiai Faqih diberi tanah dan dibuatkan pondok pesantren,”
katanya.
Dalam perkembangannya, pesantren yang didirikan kiai
Faqih itu pesat. Santri yang ada saat itu mencapai ribuan. Para santri
itu tidak hanya dari daerah Banyuwangi, tapi juga banyak dari Jember,
Bondowoso, hingga Banten. “Mbah Kiai (Kiai Faqih) ini keturunan Raden
Umar Banten, jadi namanya tersohor hingga Banten,” ungkap Gus Umar.
Dalam perkawinannya dengan al marhumah Suryati, Kiai Faqih memiliki
lima putra, yakni KH. Ahmad Muhtarom, KH. Sholeh Abdullah, Siti Maryam,
Mohammad Idris, dan Salamah. “Saya cucu dari anak kedua Mbah Kiai,”
terangnya. Gus Umar mengaku semasa kecil sering mendapat cerita tentang
Kiai Faqih dari ayahnya, KH. Sholeh Abdullah.
Kawasan Cemoro pada
tahun 1917 hingga 1970 merupakan pondok pesantren besar dan terkemuka
di bumi Blambangan. Diantara santri Pesantren Cemoro adalah KH. Harun,
Kelurahan Tukang Kayu, Banyuwangi; KH. AbdulManan, Mberasan, Desa
Wringin Putih, Kecamatan Muncar; dan KH. Ahmad Kyusairi.
“Alumni
banyak menjadi kiai besar,” cetusnya. Dari cerita yang disampaikan
ayahnya, Gus Umar menyebut Kiai Faqih itu dikenal pejuang yang gigih
menumpas penjajah di Bumi Blambangan. “Belanda mencari-cari keberadaan
Mbah Kiai untuk dibunuh, tapi selalu gagal.
Padahal, Mbah Kiai
ngajar ngaji di dalam masjid,” terangnya. Kiai Faqih wafat pada malam
Jumat Kliwon tahun 1953 Masehi di usia 83 tahun. Kiai karismatis itu
dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat istrinya, almarhumah
Suryati, yang meninggal lebih dulu di usia 60 tahun.
“Setiap 8 Syawal rutin dilaksanakan haul Mbah Kiai Abdullah Faqih di halaman Masjid Cemoro ini,” jelasnya. (radar)